Evergreen

Suara dari arah peron dan segala bising orang-orang yang berjalan terburu buru mengejar kereta keberangkatannya, membuatku sedikit bingung, kira-kira dimana dia menjemputku?


Dari kejauhan, senyumnya, yang selalu menyenangkan itu, sambil diilambaikan tangannya ke arahku. Dan sedikitnya, ah, tidak, banyaknya! Degup jantungku, mengiringi setiap inchi keramik Stasiun yang menjadi hitungan jarak antara kami.


Bagaimana mungkin aku bisa melupakan tempat kita pertama kali saling menggenggam tangan? 


Dia dan senyumannnya tidak berubah, topinya, lucu banget?! Kok sekarang dia pake topi gitu, hahaha?


Jika saja Omar Apollo dengan Evergreennya mengalun, mungkin saja aku sudah berlari ke arah dia, dan… umm.. sepertinya, aku tidak ingin memberi tahu apa yang akan kulakukan setelahnya. Rahasia, dong!


Dan, dia menyambutku. Ah, bisa ya aku melihat senyum itu lagi, langsung? Aduh, kamu gak boleh sedih, ya!

Kamu dan senyummu itu sepaket ekslusif dari kedua orang tua kamu buat dunia, buat Yogyakarta, atau paling ngga di mata aku, tau.



Dan dia mengingatkan aku soal tali sepatu sinting ini. Maksudku, kenapa sih susah banget buat berikat satu sama lain? Hah, ini ngomongin siapa, sih? Tali Sepatu, kan? 


Kami memasuki mobilnya yang dulu pernah mengantarkanku ke kos Ayu Gita, mobil yang bahkan tingginya tidak lebih dari dadaku. Tapi keliatannya, dia suka skali denga mobilnya. Ya, laki-laki yang punya hobi husus, selalu seksi buatku. Artinya, dia punya tujuan, dan tidak fokus pada hal hal narsisme, bukan begitu, girls?



Aku tidak tahu harus bicara apa, sungguh. Bahkan jika ia bertanya soal bagaimana caranya aku mencuci pakaian dalamku dengan shampoo seperti apa, aku mungkin akan langsung menjawabnya. Tapi untunglah, aku lihat dia berusaha buat mencairkan suasana canggung kita, setelah berapa bulan ya? Nggak inget!


Entah bagaimana aku di mata dia saat itu, aku bahkan gak sempat buat catok. Jujur saja ya, seharusnya aaku memberi tahu dia jemput di salon saja, Karena aku gak mungkn bisa catok di rumah, kan. 


Tapi, laki-laki ini justru datang 30 menit sebelum aku menginjakkan kaki di Yogyakarta. 


Aku takut, dia pikir aku gembel, tapi aku sering gembel sih, ah yasudahlah. Apapun itu, jika dia Sudan menyempatkan bertemu denganku, nikmati saja hari ini.



Kami mengobrol dan berakhir di kantornya, seperti biasa. Kulitnya yang coklat, matanya yang menyipit setiap dia tersenyum. Makin lama bersamanya, teringat lagi bagaimana aku harus selalu bersemangat mengejar mimpiku, 


Kuberi tahu ya, sejujurnya, dia dengan segala hal yang dia capai meruapkan salah satu motivasi buat aku, gak boleh jatuh terlalu dalam. Dan harus segera mengejar mimpi-mimpiku. 


Gak banvak berubah di kantornya, susunan kursi yang masih sama. Sofa yang memanjang, dan kipas angin legend. Tapi kenapa sih, dia gak terlalu perduli dengan debu-debu. Dulu, saat melihat pertama kali dirinya, akü pikir dia adalah orang yang sangat peduli degan kerapian, namun, sisi itu, sisi dimana dia terlalu fokus pada hal-hal besar, dan tidak memperhatikan hal sepele, kadang akü ingin memberitahunya,


Kamu butuh orang lain, A?


Kemudian, aku memeluknya, jika aku Baymax pasti sudah kepeluk dia setiap kulihat sorotan matanya yang perlahan turun ke arah bawah, dan sudut bibirnya yang mulai mengendur. Ah, gak boleh, senyumnya kemana? 


Begitu, jika aku Baymax. Akan kucari segala teka-teki paling kocak yang ada di muka bumi ini, untuk mengembalikan senyummu itu!


Tapi, aku cuma orang biasa, yang besoknya harus kembali ke Kotaku. Aku harap, dia tahu, seberapa hangatnya senyumannya itu, ke dirinya, ke orang yang mencintainya, atau bahkan ke aku?


Sejujurnya, aku tidak mengerti, harus berapa lama aku memeluknya, atau membiarkan kami saling berpelukan. Ada beberapa takut di benakku, dan aku mungkin memilih menghindari segala macam takut itu bermuara menjadi sesuatu yang nyata.


“Boleh kita pulang?”


Dan aku memilih mengakhiri pertemuan kita. Aku capek juga, menginginkan tidur, maksudku tidur sendiri, ya. Perjalanan menggunakan bus cukup membuat badanku gak karuan ditambah beban kerja seminggu ini yang sebelumnya aku sudah terbiasa menganggur dan santai.


Mobilnya berhenti di depan Alpukat kocok dan donat kesukaanku. Dia melambaikan tangannya, dan aku gak sanggup menatapnya lama. Buatku, dia orang yang sangaat amat baik, dan orang baik, biasanya akan selalu teringat di hati kita, bukan?


Malam itu, jika bulan mampu bernyanyi, mungkin dia justru akan memberikan mic nya kepadaku, dan mulai beralih menjadi gitaris, karena jika suaraku cukup merdu untuk bernyanyi, semua TOP 50 SAD SPOTIFY SONG udah mulai tuh, aku nyanyiin. Țapi, mungkin di sini cukup porsiku dan mungkin porsinya. Ah, kenapa sih bulan gak bisa nyanyi???!!


Dan cerita ini berakhir, berserta suara mesin mobil BMW Sedan-nya yang mulai menjauh, dări Jakal... tempatku paling banyak menghabiskan waktu bersamanya.. 


Semoga kamu selalu menemukan Baymaxmu, ya!


Comments

Popular posts from this blog

REVIEW FILM PENDEK AGUNG HAPSAH : Agen Resep Rahasia

Aku Ingin Bersyukur,