Seperti apakah Sejuk bagimu?
Hari ini aku memikirkan banyak kisah,
probabilitas, dan sedikitnya sendu sendu kecil dalam setiap sudut hidupku. Aku
merasa tidak puas, merasa marah, dan bercampur aduk. Hal yang membuatku sedikit
terguncang adalah masalah hati dan cinta. Terhadap lawan jenis yang sangat
memuakkan. Aku membencinya. Sangat emosional jika menghadapi ini. Termasuk
mimpi-mimpi malamku yang seakan mendukungku.
Baiklah, sudah cukup kata kata negative terlontar.
Sejujurnya aku menjadi lupa ketika aku sedang larut dalam dilemma. Maksudku lupa
dengan hal hal baik yang telah terjadi, pada hidupku.
Aku berpikir apakah itu sejuk. Bagaimana jika
melihat band tampil bermain music? Menyanyikan berbagai lagu yang apik. Bukan. Aku
tidak menemukan sebuah sejuk di sana. Aku pusing. Pusing dengan keramaian.
Bagaimana dengan riuh mall? Baju baju keluaran
terbaru dengan harga diskon yang menggiurkan?
Tidak.
Bagaimana kalau dengan film bergengsi yang mampu
membuat hatimu tersayat?
Tidak juga.
Aku kembali menyusuri jalanan kala itu, mataku
jelalatan mencari apa sesungguhnya sejuk itu.
Hatiku merasa kacau. Aku gusar. Aku stress. Tapi
aku percaya aku bisa mengobati ini semua.
Kalanya, aku berhenti berjalan.
“Ah, apakah ini sejuk
itu?”
Seorang anak kecil, mungil, dan lucu, dipeluk orang tuanya. Menari, dan
berseru. Walaupun aku yakin sejatinya, tidak ada yang paham apa yang dikatakan
anak itu. Ia berlari, ingin ke panggung, bersama ayahnya yang bermain music dengan
gagahnya. Tidak peduli banyaknya laki laki dewasa menari, ia terobos saja,
hingga ibunya kewalahan untuk menariknya kembali.
Aku terdiam. Menatap anak laki laki lucu itu. Badannya
mungil, ia tidak takut dan mencoba mencari cara untuk menerobos gerombolan laki
laki dewasa yang menari di depan panggung. Tujuannya : ayah. Entah sebenarnya
ia ingin berteriak “AYAH AKU JUGA MAU MAIN DENGAN DRUM ITU” atau ia hanya ingin
sekedar “AYAH KALAU DIPANGGUNG JANGAN LUPAIN AKU” karena ayahnya Nampak menikmati
permainan bandnya.
Maka, aku bertanya pada diriku sendiri, “Hei,
aku baru saja tersenyum, apakah sudah kutemukan sejuk itu?”
Maka, aku bergelut lagi dengan pikiranku. Anak itu
sekejap menghilang dari kepalaku. Sekejap itu menjadi malapetaka, dua detik,
tiga detik, dan lama.
Dan aku kembali pada pikiran negative itu lagi.
Pada siang ini pun,
Ketika aku mampu tersenyum tanpa alasan melihat
anak kecil yang lugu itu, kini aku lupa lagi rasanya tersenyum.
Sejujurnya, bagaimana
sejuk itu?
Tadi sempat tersenyum, ketika aku memaknai
sebuah kejadian tidak dengan kata. Dengan sesuatu yang entah hanya hatiku yang
mampu mendeskripsikannya. Kurasa aku mudah tersentuh oleh interaksi murni. Ketika
seseorang saling jatuh hati berpandangan, ketika anak kecil manis memeluk ibunya.
Ketika seorang drummer memainkan drum kesayangannya.
Jadi, kembali ke awal,
apakah sejuk itu?
Aku tidak tahu. Tidak bisa kudefinisikan. Malam
yang dingin bukan sejuk. Langit yang memerah karena senja bukan sejuk. Tapi alasanku
tersenyum tipis tadi, aku yakin, pasti karena sejuk.
Comments
Post a Comment