Cerita Tapi-Tapi

Menanti senja, tadi, di atas balkon.
Ditemani bisingnya motor lalu lalang, gaduh anak-anak bersepeda yang diserakan polisi. Sedangkan aku bersandar pada handrail menatap langit. Sedikit mendesah pelan, apakah hari ini langitku akan berwarna kelabu?

Senja tidak menjawabnya, malah bermain petak umpet dan menampakan dirinya malu-malu di kaca jendela. Elok. Apakah aku boleh ya mengharap jadi senja? Yang malu, menutup diri, tapi tetap cantik.

Jendelanya terbuka satu, satunya tertutup. Apakah hatiku juga seperti itu kala itu? Menunggu seseorang namun tidak sepenuhnya. Aku menggoreskan penaku, tersenyum simpul di balik masker dari ayah. Seperti apa ya? Nanti?

Memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi, baik buruk, aku sedikit gugup. Goresanku tidak stabil, semakin melesat jauh dari garisnya, padahal aku menggunakan kacamata. Ingin rasanya aku menyoraki bapak becak di bawah balkon, yang mengayuh becaknya tanpa letih. Sekadar memberi semangat, yah, karena konon katanya, dengan begitu aku mendapat energi positif. Setidaknya, untuk persiapan citraku, aku ingin terlihat positif.

Dan aku kembali melukis, entah apa, daripada berkalut, fokus saja ke desain tugas. Ia belum datang, saatnya berpikir lebih dalam. Agaknya kepalaku mampu sedikit menipuku dibanding detak jantungku. Berdebar. Cerita ini hampir saja dimulai, dan aku tidak tahu endingnya.

Dan suara motor berlalu memecah fokusku, sedikit bergumam, buat apa sih knalpot berisik seperti itu? Menyalahkan orang yang tidak kukenal sama saja, melempar batu, sembunyi tangan. Seperti saat ini, rasanya ingin sembunyi! Ingin bilang, sepertinya perutku sakit dan urusanku dengan kamar mandi tercinta belum kelar. Kemudian, ia akan menggerutu dan memberikanku label si penipu. Tidak mau!


Maka, ia datang, tepat ketika senja sudah berakhir bermain main denganku. Kurasa ini jawabannya, senja tidak mengijinkanku menjadi dia. Aku ya aku, senja ya senja, dan dia yang sehabis mengayuh sepedanya kini tepat di hadapanku. Hai.

Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan. Senja sialan! Kenapa ia malah pergi ketika aku sedang gugup seperti ini. Dia? Dia sepertinya juga gugup. Ya, wajar, canggung. Satu satunya harapan adalah mengobrol, di beri penyedap rasa oleh tawa. Baiklah.

Aku mencoba mengawali, dan tugu yang tertawa. Diam. Aku malu sekali, bisakah kau tetap bermain peran menjadi latar belakang di cerita ini, wahai Tugu Jogja? Baik, ia mengangguk. Aku lega. Tidak, tidak, aku belum lega. Laki-laki itu menceritakan tentang pohon, dan aku yang tidak tahu apa-apa hanya mangut mangut. Ia tahu beberapa makna dari pohon, sedangkan aku tidak bisa membedakan daun putri malu daan daun asem. Bodoh.

Ia seperti biasa, seseorang yang kukenal, tidak menambahi citranya. Aku? Mungkin sedang mengikat erat diriku, erat sekali. Nanti dulu ya, kamu jadi kalem dulu. Rasanya, jadi seperti si pembohong yang bertemu si jujur. Angin sedikit menghiburku sore itu, namun menghamburkan suara adzan. Ia menenggak minumnya, dan aku... aku mual.

Sial, aku mual. Kayanya terlalu banyak minum boba hari itu. Aku nggak boleh mual, pokoknya enggak boleh. Aku nggak mau. Naas. Aku kalah. Aku mual.

Waktu berlalu dan topik obrolan bagai kurva melandai. Ya, sepertinya kenang-kenangan mungkin solusi terbaik untuk pertemuan tak direncanakan ini. Tapi, tunggu, aku kan engga bawa apa-apa. Masa iya kukasih handsanitizer? Entahlah, yang kupikir hanya gambar saja, gambar 5 detik. Maksudku, apa yang bisa diharapkan dari gambar 5 detik? Lukisan realis? Mungkin Dosen Menggambarku meroasting habis habisan kalau liat gambarku. Ya, pada akhirnya idealis selalu kalah dengan realita, entah diterima atau kejutan apa nantinya, ini kan tanda, bahwa ada orang bodoh yang baru saja bertemu dengannya.

Ya... dan kami berpisah, setelah kami menerima uang kembalian, aku dan ia sama sama pergi. Ia melanjutkan perjalanannya dengan sepedanya, dan aku pulang dengan sepedaku. Maksudku, sepeda motor. Tugu Jogja sepertinya melirikku, seolah mengejekku. Jadi, bagaimana rasanya bertemu dengan banyak tapi? 

Comments

Popular posts from this blog

REVIEW FILM PENDEK AGUNG HAPSAH : Agen Resep Rahasia

Aku Ingin Bersyukur,

Puisi dan Isi Kepala Saya